Target IHT 232,5 Triliun di 2023 ke APBN

Jumat, 29 September 2023 19:36 WIB

Penulis:Asih

Editor:Asih

Sarasehan RPP Kesehatan.jpg
Pembicara dalam Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan tema "Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau Diatur RPP Kesehatan" di Surabaya, Jumat (29/9/2023).

SURABAYA | halojatim.com - Industri Hasil Tembakau (IHT) telah berkontribusi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan target sebesar Rp, 232,5 triliun pada 2023. 

Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) Januari-Agustus baru mencapai Rp 125,8 triliun atau turun 5,8% dibanding Januari-Agustus 2022 yang mencapai Rp134,65 triliun. 

Realisasi CHT 2023 diperkirakan hanya Rp 218,1 triliun atau 93,8% dari target APBN 2023 yang sebesar Rp, 232,5 triliun.  

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan saat ini, akibat banyaknya aturan yang mengikat dan membatasi, produksi industri rokok tanah air terus mengalami penurunan. 

Dikatakannya pihaknya sangat keberatan atas RPP ini karena Industri hasil tembakau anggota Gappri terus mengalami kontraksi luar biasa di tahun ini. Mengalami penurunan produksi sangat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya dan kami menganggap PP yang sudah ada sudah berlaku selama ini sudah sangat ketat mengawasi dan mengatur kami. Tetapi kalau ada RPP lagi yang sifatnya makin banyak pelarangan, pasti industri kami akan alami kesulitan dan menderita. Tentu akan terganggu dan pasti akan berpengaruh pada sektor lain, hulu hingga hilir, mulai petani, pekerja sampai dengan pengecer. Dan kami menolak," terangnya Henry Najoan saat Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan tema "Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau Diatur RPP Kesehatan" di Surabaya, Jumat (29/9/2023). 

Saat ini penurunan terbesar terjadi pada industri hasil tembakau golongan satu yaitu mencapai 14 persen. Padahal industri golongan satu ini berkontribusi sebesar 70 persen dari total penjualan produk IHT. 

"Secara total, produksi tahun ini diperkirakan mencapai dibawah 300 miliar batang, turun dibanding tahun lalu sebesar 320 miliar batang. Khususnya untuk industri kami yang legal. Ini produksi paling rendah kr tidak pernah produksi rokok dibawah 300 miliar batang. Paling baik di saat 2019, produksi bisa mencapai 360 miliar batang," ujarnya.

Terkait RPP turunan UU Kesahatan, Henry mengatakan sebagian besar pasal yang mengatur tentang industri hasil tembakau adalah pasal pelarangan sehingga industri ini terkesan dianggap industri ilegal. "Kami sebagai industri padat karya dan padat peraturan, tentunya kami berharap industri masih bisa bertahan. Tidak hanya diatur untuk menuju sunset industri yang semakin mundur," ujarnya.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, yang turut hadir secara daring dalam acara ini menyampaikan bahwa dalam penyusunan RPP Kesehatan ini diperlukan sinergi antar kementerian. 

“Dalam pembahasan aturan pengendalian, ada dua instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait. Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” katanya. 

Nirwala juga mengatakan bahwa sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait zat adiktif produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012. 

“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu uji nikotin, dimana, siapa dan b mengenai bagaimana implementasinya?” tanyanya. 

Diskusi RPP Kesehatan telah dimulai sejak bulan September dan diperkirakan akan segera ditetapkan.

Hal ini menimbulkan keresahan dan penolakan keras dari ekosistem tembakau mengingat peraturan terkait tembakau yang ada saat ini saja sudah cukup memberatkan dan mengalami penurunan tajam. Diketahui pada tahun 2007, terdapat 4.669 unit usaha rokok dan pada tahun 2022 hanya tersisa 1.100 unit usaha.