mudik
Minggu, 28 Mei 2023 06:01 WIB
Penulis:Asih
Editor:Asih
SURABAYA | halojatim.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya memutuskan perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 Huruf c dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia.
Dalam sidang putusan yang digelar Jumat (26/5/2023) yang diketuai Mejelis Komisi Dinni Melanie, menyatakan ke-27 Terlapor dalam perkara tidak terbukti melanggar pasal 5 (terkait penetapan harga).
Namun Majelis Komisi memutuskan bahwa tujuh Terlapor, yakni Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII dan Terlapor XXIV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c (terkait pembatasan peredaran/penjualan barang).
Atas pelanggaran di atas, KPPU menjatuhkan besaran sanksi denda yang beragam kepada tujuh Terlapor tersebut, dengan total denda yang mencapai Rp71,28 miliar.
BACA JUGA :
Kasus ini merupakan insiatif KPPU yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 oleh para Terlapor pada periode Oktober 2021 sampai dengan Desember 2021, dan periode Maret 2022 sampai dengan Mei 2022.
Para Terlapor juga diduga melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999 pada periode Januari 2022 sampai dengan Mei 2022 dalam penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia.
Kasus bergulir hingga proses Pemeriksaan oleh Majelis Komisi. Pemeriksaan Pendahuluan atas perkara ini dilakukan Majelis Komisi sejak 20 Oktober 2022 dan dilanjutkan dengan Pemeriksaan Lanjutan sejak 25 November 2022, serta perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan hingga 4 April 2023.
Majelis Komisi menjelaskan pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia. Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52%), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
Ini mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para Terlapor.
Majelis Komisi menemukan fakta persidangan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran.
Ini menunjukan kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil. Dengan demikian para Terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran.
Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET. Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET.
Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat.
Perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan. Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Menanggapi putusan ini Kepala Bidang Penegakan Hukum Kanwil IV KPPU Ratmawan Ari Kusnandar, menyatakan bahwa terlapor atau pelaku usaha dihimbau untuk korporatif melaksanakan putusan dan apabila keberatan maka sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat melakukan upaya hukum yaitu keberatan ke Pengadilan Niaga di Domisili Terlapor.
Dikatakan Ratmawan, terkait dengan putusan ini dirinya berharap para terlapor dapat menjalankan putusan tersebut dan apabila terdapat keberatan dari terlapor, maka sesuai dengan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 44 Tahun 2021.
"UU itu tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka Pelaku usaha dalam hal ini Terlapor dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga sesuai domisilinya maksimal 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU," jelas Ratmawan.
Bagikan
mudik
8 bulan yang lalu
fintech
setahun yang lalu