Perusahaan Digital Terus Merugi, GOTO Rp9,5 triliun, Bukalapak Rp776,22 Miliar, Mirae Paparkan Strategi Perbaiki Kinerja
JAKARTA, Halojatim.com - Perusahaan raksasa tekhnologi digital yang beroperasi di Indonesia terus merugi dalam jumlah yang signifikan.
Dari berbagai perusahaan itu, yang selalu jadi perbincangan adalah GOTO dan Bukalapak.
- Sudah Tahu Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan? Ini Bedanya
- Penyerapan Anggaran di Daerah Masih Minim, Jokowi Deadline 3 Pekan Harus Tersalurkan
- DAOP 7 MADIUN SIAPKAN LIMA KERETA TAMBAHAN SELAMA LIBUR NATARU
PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang masih mencetak rugi sebesar Rp9,5 triliun dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang mencatatkan kerugian Rp776,22 miliar pada kuartal III-2023.
Equity Research Analyst PT Mirae Asset Sekuritas Christopher Rusli menilai emiten yang bergerak di sektor ekonomi digital harus menerapkan strategi untuk memperbaiki kinerja hingga mencapai profitabilitas.
Menurut Christopher, saat ini pemain utama di sektor ekonomi digital sendiri sudah menerapkan pergeseran strategi dari ekspansi agresif ke arah profitabilitas.
“Namun, pertumbuhan layanan on-demand dan e-commerce telah melambat karena pergeseran strategis oleh pemain utama dari ekspansi agresif ke profitabilitas, yang menyebabkan berkurangnya insentif dan promosi,” kata Christopher dikutip dari risetnya.
Strategi Promosi
Dikatakan Christopher, berhubung konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga, maka menurunnya tingkat insentif dan promosi pun membuat konsumen mencari pilihan alternatif.
Dengan demikian, ketika insentif dan promosi dipangkas dalam rangka mencapai profitabilitas, pemain utama di sektor ekonomi digital seperti GOTO dan BUKA mau tidak mau harus siap untuk mengorbankan sisi jumlah pengguna aktif.
“Ini terbukti dengan penurunan gross transaction value (GTV) GOTO dan juga total processing value (TPV) BUKA baru-baru ini. Oleh karena itu, kami melihat bahwa penting bagi perusahaan teknologi untuk tetap bersabar dalam meningkatkan earning before interest, tax, depreciation, and amortization (EBITDA) yang disesuaikan ke angka yang positif terlebih dahulu sebelum mencoba meningkatkan nilai transaksi untuk mempertahankan efisiensi,” papar Christopher.
Christopher menyebutkan pascapandemi, sektor ekonomi digital berkembang pesat ketika bank-bank sentral di seluruh dunia menurunkan suku bunga ke rekor terendah. Hal ini bertujuan untuk mendukung perekonomian yang sedang mengalami kesulitan.
Namun, pendekatan ini, dikombinasikan dengan stimulus fiskal yang substansial, telah memicu tekanan inflasi. Menanggapi inflasi tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir, banyak bank sentral mulai menaikkan suku bunga, yang berdampak buruk pada kinerja perusahaan-perusahaan dengan pertumbuhan tinggi.
“Oleh karena itu, memprediksi tren suku bunga secara akurat sangat penting untuk memprediksi kinerja perusahaan teknologi/ekonomi digital,” tutur Christopher.
Ekonomi digital, yang saat ini merupakan fokus utama di Indonesia, diperkirakan Christopher akan mendapatkan momentum lebih lanjut setelah pemilihan presiden.(*)
Tulisan ini telah tayang di kabarsiger.com oleh Yunike Purnama pada 01 Dec 2023