Pajak Spa Dinilai Terlalu Tinggi, PHRI Sebut Idealnya 15 Persen, Bukan 40 Persen
JAKARTA, Halojatim.com - Pajak tempat hiburan seperti spa yang mencapai 40 persen dinilai ugal ugalan atau terlalu tinggi.
Idealnya pajak hiburan ini tidak jauh berbeda dengan pajak hotel yang saat ini berlaku 10 persen.
Pelaku pariwisata masih akan mentolellir jika pajak hiburan ini di angka 15 persen saja.
- Jumlah Masih Minim, Pendaftaran Pembelian LPG 3 Kg dengan KTP Diperpanjang hingga 31 Mei
- KPK Terima 430 Laporan Kasus Korupsi di Jatim, Termasuk OTT di Bondowoso
- KAI Dikabarkan Jadi Target Serangan Digital, Manajemen Sebut Masih Aman
Hal ini seperti disampaikan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali.
PHRI menilai besaran tarif pajak hiburan berupa spa di Pulau Dewata idealnya 15% agar tidak berbeda jauh dengan pajak hotel dan restoran yang 10%.
Ketua PHRI Bali Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan rencana penerapan pajak hiburan sebesar 40%-70% harus ditinjau ulang. Menurut dia, perusahaan tidak bisa mengimplementasikan jika terjadi perbedaan yang ekstrem antara pajak hotel dengan spa atau hiburan.
“Perbedaan itu jangan terlalu ekstrem, pajak hotel dan restoran itu 10 persen, sedangkan spa itu 40 persen. Kalau melihat rasionya itu 15 persen (pajak spa) sudah ideal,” kata Cokorda Oka dikutip dari Antara, Selasa, 16 Januari 2024.
Ia menilai besaran tarif pajak itu merupakan amanat Undang-Undang (UU) sehingga pemerintah daerah tidak dapat melakukan intervensi.
Untuk itu, upaya peninjauan kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait besaran pajak spa dan klasifikasinya ke jasa hiburan, diharapkan bisa merevisi besaran tarif pajak usaha spa.
“Kalau kabupaten/kota tidak menindaklanjuti (aturan turunan UU) nanti menjadi temuan juga. Kami sadari kesulitan bupati, kepala daerah, mereka tidak bisa berbuat apa,” ucap Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 itu.
Lebih lanjut, Cokorda Oka menjelaskan pengusaha spa yang tergabung dalam Bali Spa dan Wellness Association (BSWA) yang bernaung di bawah PHRI Bali mengajukan peninjauan kembali atau judicial review UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) terkait tarif dan klasifikasi usaha spa.
Dalam UU itu, spa dikategorikan masuk jasa hiburan sehingga tarif pajaknya naik menjadi minimal 40% dan maksimal 75%.
UU itu menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota untuk ikut menaikkan pajak spa menjadi 40% dari sebelumnya 15%, seperti yang berlaku mulai 1 Januari 2024 di Kabupaten Badung.
Sedangkan pajak makan dan minuman serta jasa perhotelan besaran tarif pajaknya mencapai 10%.
Pada perda sebelumnya yang kini sudah dicabut yakni Perda Badung Nomor 8 tahun 2020 tentang Pajak Hiburan, mengatur besaran tarif pajak spa/mandi uap yang mencapai 15%.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengakui sudah mendapatkan keluhan dari pelaku pariwisata khususnya sektor jasa hiburan dan spa.
Ia mengharapkan pelaku usaha tidak khawatir dan gusar karena pihaknya akan mencarikan solusi untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan pariwisata.
Apalagi sektor pariwisata, lanjut dia, merupakan sektor utama untuk transformasi ekonomi negara.
“Oleh karena itu seluruh kebijakan termasuk pajak akan disesuaikan agar sektor (pariwisata) ini kuat,” katanya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Laila Ramdhini pada 17 Jan 2024