Indonesia dan Sejarah Hitam Negeri Para Penjudi, Pemerintah Mau Tapi Malu

ifta - Rabu, 02 Agustus 2023 08:06 WIB
Kupon Nasional Lotre Ali Sadikin dan SDSB Kamuflase Judi Era Soeharto. (Bibliotika.com)

Halojatim.comPada suatu masa pernah rumah judi di sebuah negara yang kelak bernama Indonesia ini lebih banyak dibanding rumah ibadah.

Dia digandrungi berbagai lapisan, dari kaum kere, sampai kaum bangsawan, dari bebagai etnis dan negara, semua tumplek blek di Batavia yang saat itu layak disebut sebagai negeri para penjudi.

Kini setelah berabad-abad silam, judi tak pernah mati di Indonesia. Dia seperti komorbit kronis yang mampu beradapatasi dengan zamannya. Menyelinap di antara gang-gang sempit rumah-rumah kumuh, sampai masuk ke jalan-jalan lebar rumah-rumah elit.

***

Di belahan dunia manapun, Judi adalah salahsatu pekerjaan paling purba yang pernah ada, termasuk juga di Indonesia.

Indonesia memiliki sejarah panjang soal perjudian, di depan umum dia dibenci, namun diam-diam banyak yang meminati.

Bahkan pada suatu zaman, lembaga agama saat itu juga masih enggan menjatuhkan fatwa. Antara takut atau intervensi negara?

Bentuk permainan di judi di Indonesia

Permainan judi di Indonesia memiliki banyak ragamnya. Ada beberapa bentuk perjudian yang telah ada sejak masa lampau mulai dari sabung ayam, kartu remi dan kini telah berkembang melalui media digital atau online.

Secara keseluruhan setiap periode sejarah, praktik perjudian ini dilarang atau dikendalikan secara ketat oleh pemerintah yang berkuasa. Terbaru, Kementerian Informatika dan Komunikasi (Kominfo) telah memblokir lebih dari 10.000 ribu situs judi, pada pekan terakhir bulan Juli 2023.

Sejarah perjudian

Salah satu bentuk permainan judi yang telah ada sejak abad ke 16 di Indonesia adalah kartu remi. Perjudian ini kabarnya diperkenalkan oleh orang para pedagang China di sekitar Batavia(Jakarta).

Dilansir dari buku Frieda Amran dalam buku Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers & dr. Strehler (2012), para orang China selain gigih mengerakan ekonomi nusantara karena mampu dagang di bawah teriknya mentari, mereka juga membawa keburukan yakni menjajakan permainan judi mulai dari kartu remi, dadu, kartu, po, dan posing.

Alhasil para masyarakat bumiputera dan non bumiputera sekitar Batavia kecanduan berat permainan judi. Bahkan pada tahun 1620, rumah judi lebih banyak dibanding rumah ibadah, sekolah, hingga panti asuhan di Batavia.

Melihat wabah ini, Gubernur (Persekutuan Dagang Hindia Belanda) VOC JP Coen, membuat kebijakan dengan menaikkan tarif persewaan rumah judi di Batavia. Bukannya penjudi malah berkurang, ternyata pendapatan ini menjadi yang tertinggi kedua dan mengungguli uang sewa pasar kisaran 700-1200 real per bulan.

Judi Era Pemerintah Kolonial

Seiring bangkrutnya VOC, penjajahan di Indonesia yang kemudian dikendalikan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, perjudian masih tetap saja tumbuh dan berkembang. Bahkan para pengelola rumah perjudian mayoritas pensiunan serdadu Eropa.

Dilaporkan De Indische Courant, pada 9 Oktober 1930 terjadi penggerebekan rumah perjudian di Saritem Bandung. Saban akhir pekan sekitar 30-40 orang yang mayoritas adalah berkebangsaan China datang kesana untuk memainkan permainan judi dadu.

Menurut koran Semarang, De Locomotief yang terbit satu hari berikutnya, rumah perjudian itu menggunakan sistem bel listrik untuk penanda mara bahaya. Sayangnya keberadaan penjudi ulung itu mampu tercium oleh aparat keamanan dan sejumlah penjudi berhasil diringkus.

Pro Kontra Judi Era Orde Lama, Malu tapi Mau

Pada era ini pemerintah seolah mau tapi malu secara blak-blakan. Gonta ganti kebijakan dari tidak melarang sepenuhnya sampai membatasi, bahkan melegalkan secara terang-terangan.

Setelah Indonesia merdeka, permainan judi lantas tak hanyut menghilang bersama penjajah. Justru pada tahun 1960-an pemainan ini menjadi bentuk sumbangan sosial dan legal. Permainan ini dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial yang dibentuk pemerintah untuk urusan-urusan sosial kemiskinan.

Pengundian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali dengan hadiah mencapai Rp500 ribu rupiah. Sementara hadia terendah berkisar Rp10-20 ribu. Untuk ukuran tahun 1960-an dapat dikatakan nominal yang cukup fantastis.

Namun, tidak hanya undian hadiah milik pemerintah, masyarakat pun dihibur oleh jenis perjudian lain yang tidak berizin yakni Lotere Buntut. Jadi disini para masyarakat yang sudah gandrung judi hanya cukup menebak dua angka undian yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial. Permainan ini berkembang hingga pelosok desa dengan hadiah yang disuguhkan mencapai Rp60-80 ribu setiap satu kali undian tersebut.

Sangking banyaknya peminat judi, Gubernur Jakarta Ali Sadikin membuat gempar lantaran melegalkan permainan judi yang dikenal sebagai Nalo (Nasional Lotre). Kebijakan ini dibuat berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 1957 tentang tanggung jawab pemerintah terhadap daerahnya sendiri.

Alasan Ali Sadikin melegalkan permainan tersebut, karena biaya pajak judi itu digunakan untuk membangun Jakarta menjadi lebih baik. Terbukti hasilnya banyak infrastruktur yang dibangun dan pemerintah juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Namun, bagi Presiden Sukarno, meskipun menguntungkan, permainan semacam itu justru dinilai sebagai perusak moral bangsa. Perjudian pun sempat terhenti pasca Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No.113 Tahun 1965 yang menyatakan Lotre Buntut bersama musik ngak-ngik-ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi.

Kamuflase Judi Era Orde Baru

Medio 1970-an, pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan larangan bermain judi melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Dengan demikian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus dan dilarang, lantaran hal itu bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila.

Setelah itu, undian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial pun ditutup. Namun, pada 1978 muncuk yayasan serupa ini dengan nama Badan Usaha Undian Harapan. Yayasan ini memiliki program unggulan yakni Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Adapun pengelolaanya diserahkan kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang berpusat di Jakarta. Satu tahun kemudian, undian hadiah mulai diberlakukan dan sebanyak 4 juta kupon disebar untuk diundi saban dua minggu sekali.

Menurut laporan koran Kedaulatan Rakyat yang terbit 27 Maret 1986, tercatat sampai tahun 1985 sebanyak 4 juta lembar kupon yang terjual dengan nominal Rp 2,5 miliar hasil undian. Seluruh dana itu disebar untuk keperluan sosial dan kemanusiaan. Bahkan, undian tersebut setiap tahunnya mampu memperoleh omzet kurang lebih Rp1 triliun.

Tak berselang lama, Presiden Soeharto kemudian mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk ke Inggris mempelajari sistem undian berhadiah olahraga yang disebut Porkas (Pekan Olahraga Ketangakasan). Hal itu digunakan sebagai upaya menciptakan sistem undian tanpa menimbulkan ekses judi. Karena sistem ini di Inggris dijalankan menggunakan hitungan data matematik

Kemudian pada 1985 Porkas diresmikan yang melalui UU No. 2 Tahun 1954 tentang Undian. Hal itu diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

Klaim rezim Soeharto kala itu, porkas berbeda dengan undian hadiah sebelumnya. Pembeli permainan hanya diijinkan usia 17 tahun ke atas dan hanya beredar sampai tingkat kabupaten. Cara mainnya ini tidak ada tebakan angka, melainkan menebak menang-seri-kalah yang diimplemenasatikan pada olahraga sepak bola.

Para pembeli kupon Porkas ini akan bertaruh untuk 14 klub sepak bola di divisi utama. Setelah seluruh klub melakukan pertandingan selama sepekan hadiah baru akan diundi. Pembagian hadiahnya: 50-30-20, berurutan penyelenggara tebakan-pemerintah-penebak.

Walau tidak sedikit yang mendukung program judi legal pemerintah tersebut. Para Ulama dan masyarakat umum menyatakan bahwa permainan Porkas adalah sebuah judi olahraga yang dikamuflasekan melalui undian olaharga. Karena, semakin besarnya gelombang protes, pemerintah akhirnya mengganti porkas menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB).

Disebutkan dalam laporan Majalah Tempo terbit 28 November 1987 dengan judul “Menebak-nebak Izin Porkas”, pemerintah melalui KSOB mampu hadiah utama sebesar 8 juta rupiah, dengan harga kupon 600 rupiah perlembar. Setelah diubah bukan lagi menebak menang-seri-kalah, melainkan bertaruh skor pertandingan. Tercatat sepanjang tahun 1987, undian tersebut telah meraup dana dari masyarakat sebanyak 221 miliar rupiah.

Meski menuai banyak protes, akan tetapi kurang adanya ketegasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tak mau memberikan fatwa haram soal SDSB, Prokas atau KSOB permainan ini tetap berlanjut. Baru akhirnya seluruh permainan dihentikan total, setelah Menteri Sosial Endang Kusuma menyetujui permintaan rapat anggota DPR pada 24 November 1993.

Judi Pasca Reformasi

Setelah Reformasi 1998 seluruh permainan judi di Indonesia semuanya dilarang. Namun, pada perkembangannya terlebih seiring masifnya arus teknologi permainan ini berubah bentuk menggunakan media digital atau online.

Dengan demikian, para penjudi ulung tak perlu repot mencari rumah judi lagi. Pasalya mereka tinggal rebahan ataupun ngopi santai, seluruh situs judi itu dapat dijalankan. Sebetulnya, pemerintah telah mengupayakan pemblokiran sejumlah situs, sayangnya para penjudi tetap saja masih dapat mengakses melalui Virtual Private Network (VPN).

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Alvin Pasza Bagaskara pada 01 Aug 2023

Bagikan

RELATED NEWS