Atur IHT, RPP Turunan UU Kesehatan Dinilai Over Authority

Jumat, 29 September 2023 19:13 WIB

Penulis:Asih

Editor:Asih

Sarasehan RPP Kesehatan.jpg
Pembicara dalam Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan tema "Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau Diatur RPP Kesehatan" di Surabaya, Jumat (29/9/2023).

SURABAYA | halojatim.com -   Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Kesehatan yang saat ini tengah dibahas oleh Kementerian Kesehatan dianggap sangat berbahaya karena Over Authority atau di luar kewenangan yang dimiliki. 

Hal itu dikatakan anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Mukhammad  Misbakhun saat Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan tema "Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau Diatur RPP Kesehatan" di Surabaya, Jumat (29/9/2023). 

"RPP ini ada satu yang sangat berbahaya. Karena dari sisi pembentukan aturan perundang-undangan sendiri diatur melebihi Undang-Undang. Saya mengatakan bahwa ini over authority. Peraturan yang mengatur undang-undang, mengatur ulang, mendefinisikan ulang, dan kemudian yang tidak diatur diatur disana, ini berbahaya. Karena menyangkut kehidupan industri, yang di dalamnya ada mata rantai," tegasnya. 

Ia menyatakan Kementerian Kesehatan berhak mengatur aspek kesehatan, tetapi kementerian ini tidak berhak mengatur industri karena industri ada peraturannya sendiri, pertanian ada peraturannya sendiri. "Karena dampaknya sangat besar terhadap IHT, dimana ada ekosistem yang hidup, mulai dari petani, butuh, industri hingga sektor perdagangan dan sebagainya. Dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak," tandasnya. 

Keberadaan RPP ini menurutnya juga akan mempengaruhi pola konsumsi para perokok yang menyebabkan penerimaan negara yaitu cukai tembakau. 

"Harapan saya pemerintah berfikir ulang. Mengkaji kembali RPP ini dengan melihat berbagai aspek karena kalau aspek kesehatan mengintervensi aspek-aspek dalam sendi kehidupan yang lain, itu pasti akan melahirkan penolakan. Penolakan akan melahirkan gejolak. Mulai dari gejolak sosial, politik dan sebagainya. Risiko itu harus dihitung pemerintah," tandasnya.. 

Sementara itu, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengungkapkan, dalam RPP ini dalam beberapa pasalnya yang patut dipertanyakan apakah ini merupakan “Bentuk Regulasi  Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan". Padahal sebelumnya telah ada Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan. 
"Peraturan ini telah berlaku selama lebih dari sepuluh tahun dan telah memainkan peranan penting pada komoditas pertembakauan," katanya. 

Di RPP turunan UU Kesehatan banyak pasal yang sangat meresahkan yang berisi tentang berbagai larangan. Di antaranya adalah larangan menjual produk tembakau secara eceran atau batangan, larangan menjual melalui situs penjualan (emarket place) dan media social dan larangan untuk memajang produk tembakau ditempat penjualan. 

Selain itu juga ada pelarangan menjual produk tembakau pada tempat penjualan dan larangan memproduksi produk tembakau pada tempat kerja. Larangan mengiklankan produk tembakau di tempat penjualan, media luar ruang dan melalui internet. 

Pengaturan iklan pada media cetak (hanya boleh ditaruh dilembar Tengah dan tidak boleh didekatkan pada produk makanan) dan penyiaran (pada pukul 23.00-03.00). Kemasan harus isi 20 batang per bungkus. 

Juga larangan promosi dan sposnsorship dari produsen produk tembakau dan rokok elektronik dalam bentuk apapun termasuk sponsor kegiatan social, Pendidikan, olahraga, music, kepemudaan, kebudayaan atau melibatkan Masyarakat umum. Dan larangan peliputan dan publikasi media pada program  bantuan tanggung jawab social Perusahaan (CSR) produk tembakau dan rokok elektronik. 

"Amandemen peraturan ini, pasal-pasal pengamanan zat adiktif yang diusulkan oleh Kemenkes sarat dengan berbagai pelarangan, bukan pengendalian dan pengawasan seperti yang diamanahkan UU Kesehatan. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi dan cerminan pemahaman pemrakarsa kebijakan yang sempit dalam mengukur dampak yang akan ditimbulkan kebijakan tersebut dalam memberikan tekanan kepada lebih dari 6 juta jiwa yang merupakan bagian dari ekosistem pertembakauan, serta lebih luasnya terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional," tegas Adik. 

Padahal Industri Hasil Tembakau (IHT) menjadi sektor vital dalam perekonomian nasional dengan menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara melalui cukai. Industri ini terus berkembang dan memainkan peranan penting dalam menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang.