Tak Ada Lagi Kasta dalam BPJS Kesehatan, Tahun Depan Resmi Dihapus

ifta - Rabu, 26 Januari 2022 19:00 WIB
Karyawan melayani warga peserta BPJS Kesehatan di Jakarta, Selasa, 14 Juni 2020. BPJS Kesehatan menyatakan telah menuntaskan pembayaran klaim rumah sakit per 1 Juli sebesar Rp3,70 triliun seiring awal bulan Juli BPJS Kesehatan telah menerima iuran peserta Penerima Iuran Bantuan (PIB) APBN dari pemerintah sebesar Rp4,05 triliun. (Ismail Pohan/TrenAsia)

JAKARTA, Halojatim.com- Pengguna layanan BPJS Kesehatan selama ini masih harus dikotak-kotakkan dengan kelas peserta yang diikuti.

Ada 3 kategori kelas, yakni kelas 1 dengan fasilitas kamar cukup memadai dari dua hingga 1 orang atau bed perkamar.

Kemudian kelas dua dari 2 hingga 3 bed, dan kelas 3 jumlahnya kadang lebih dari 4 orang atau sesuai dengan fasilitas yang disediakan rumah sakit setempat.

Kini ketentuan kasta dalam layanan BPJS Kesehatan tersebut bakal dihapus dan diterapkan 1 kelas saja.

Hal ini disampaikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang berencana mengimplementasikan ketentuan rawat inap peserta BPJS Kesehatan menjadi satu kelas mulai tahun 2023.

Dengan demikian, pembagian kelas rawat inap yang terdiri dari tiga kelas sebelumnya (Kelas 1, 2, dan 3) resmi dihapus.

"Di 2023, implementasi secara bertahap di Rumah Sakit Umum Daerah dan rumah sakit swasta berdasarkan kriteria KRIS JKN," ujar Anggota DJSN Iene Muliati dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa, 25 Januari 2022 seperti dilihat di Youtube Komisi IX DPR RI Channel.

Dia menjelaskan bahwa dengan menghapus klasifikasi kelas layanan, maka akan ada satu kelas standar atau kelas rawat inap standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) untuk peserta BPJS Kesehatan mulai tahun depan.

Implementasi KRIS JKN berlandaskan pada ketentuan peraturan Undang-Undang, seperti UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Perumahsakitan dan Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

KRIS JKN ini bukan untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan melainkan untuk memenuhi mutu dan standardisasi layanan dan prinsip ekuitas.

Dengan KRIS JKN, semua orang berhak mendapatkan pelayanan baik medis maupun non medis yang sama dan setara.

Yang paling utama adalah keselamatan pasien dan standar pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di masyarakat.

"Kita masih menemukan ada tantangan terkait pemenuhan prinsip ekuitas dimana klasifikasi kelas perawatan yang ada di beberapa daerah belum terstandar, dan akses ke fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan obat belum merata," papar Iene.

Dia menerangkan bahwa pihaknya juga telah melakukan konsultasi publik dan penilaian sendiri (self assesment) terhadap banyak rumah sakit baik rumah sakit umum maupun TNI/Polri.

Konsultasi dan penilaian itu melibatkan akademisi, lembaga riset, asosiasi faskes, kelompok masyarakt sipil dan peserta penerima manfaat, serta Pemda.

Dari hasil penilaian itu, ditemukan bahwa mayoritas rumah sakit mampu memenuhi 12 kriteria penerapan KRIS JKN dan beberapa lainnya memerlukan penyesuaian.

"Kegiatan ini kami lakukan untuk memahami kesiapan faskes baik di pusat maupun di daerah dan kami mencoba memotret sebetunya bagaimana pnadangan akademisi dan juga masyarakat terhadap usulan KRIS JKN ini," terang Iene.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 26 Jan 2022

Bagikan

RELATED NEWS