RUU Migas Jadi Barometer Keseriusan Indonesia Melaksanakan Transisi Energi

Redaksi - Rabu, 23 November 2022 18:14 WIB
Migas (TrenAsia)

Jakarta - Pemerintah Indonesia tengah melakukan percepatan transisi energi, dari energi fosil menuju energi baru terbarukan yang bebas emisi karbon. Rancangan Undang Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) menjadi elemen penting untuk mendukung terwujudnya transisi energi sekaligus menjaga ketahanan energi nasional.

Analis energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna mengatakan selama periode transisi, migas memiliki peran penting untuk menjaga ketahanan energi Indonesia. Oleh karena itu, penting melihat keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi situasi ini.

“Barometernya dari RUU Migas, jika ragu-ragu menentukan ini bisa jadi transisi migas ini juga ikut berdampak. RUU Migas akan menjadi barometer seberapa serius Indonesia dalam menyikapi periode transisi tersebut,” kata Putra saat dihubungi wartawan.

Putra menerangkan RUU Migas menjadi hal mendasar yang harus dituntaskan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di sektor migas. Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia memiliki target produksi 1 juta barel minyak per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030.

Namun dengan proses RUU Migas yang tak kunjung selesai, Putra menilai hal ini akan berpengaruh terhadap pandangan investor untuk masuk ke industri migas di Indonesia. “Rentang waktu dari investasi sampai produksi sektor migas cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun. Saya rasa investor sudah mulai berhati-hati melihat bukan hanya dari potensi ya, juga kepastian hukum dan kebijakan ke depan,” jelas Putra.

Sejumlah perusahaan raksasa menyatakan mundur dari proyek pengelolaan blok migas di Indonesia. Tercatat, Conoco Phillips sudah resmi melepas asetnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), sedangkan Chevron dan Shell masih berproses mencari mitra pengganti melanjutkan proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur dan pengembangan proyek Blok Masela.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menambahkan, jika berbicara soal transisi energi, ada dua aturan yang menjadi landasan Hukum. Keduanya adalah UU Migas dan UU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga kini belum kunjung diselesaikan.

“Sayangnya sudah menjadi kebiasaan di kita sepertinya, kita ramai-ramai di ujungnya atau permukaan saja tapi fundamental gak kesentuh. Padahal kalau pemerintah komitmen harusnya ada payung hukum dari awal, jangan nunggu sampai ada pro-kontra setelah semua sudah jalan baru menjadi concern,” ujar Komaidi.

Khusus untuk RUU Migas, Komaidi menambahkan beleid tersebut fundamental untuk investasi dan target lifting, sehingga perlu segera diselesaikan. Dia mencatat, proses UU Migas ini mulai dibahas dari 2008 dan sudah beberapa kali dibatalkan atau mengalami proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.

“Kenapa ya selama 14 tahun ini gak selesai-selesai? padahal kalau bicara migas sebagai komoditas strategis harusnya justru menjadi kesadaran bersama untuk segera diselesaikan RUU-nya karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya demikian sudut pandangnya,” jelas Komaidi.

Belum lama ini, Komisi VII DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Pada forum ini kedua pihak bersepakat akan segera merampungkan Revisi UU Migas. Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Golkar, Maman Abdurrahman, mengatakan RUU Migas akan dijadikan sebagai UU inisiatif DPR agar pembahasan bisa cepat rampung, paling lambat di Juni 2023.

"Jadi selesai sudah menjadi produk undang-undang, segera diselesaikan selambat-lambatnya bulan Juni 2023 sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia," tutup Maman.

Editor: Redaksi

RELATED NEWS