Larangan Jual Rokok Eceran Ancam Nasib PKL, Termasuk Maraknya Rokok Ilegal

ifta - Jumat, 15 September 2023 17:47 WIB
Ilustrasi Penjualan Rokok (TrenAsia)

JAKARTA, Halojatim.com - Pemeintah kini tengah menggodok tentang rencana pelarangan penjualan rokok secara eceran melalui Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan.

Rancangan ini mendapatka kritik tajam dari berbagai kalangan. Mulai dari minimnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam hal ini pedagang, hingga adanya potensi rokok ilegal makin marak.

Kritikan lain juga terkait dengan dasar adanya larangan tersebut.Izin Operasional Terbit, Ini Waktu Kereta Cepat Dibuka untuk Umum

Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menilai larangan penjualan rokok eceran itu tidak rasional dan sulit diterima akal sehat, termasuk dengan dalil mencegah anak-anak untuk tidak merokok.

“Karena sebenarnya untuk menjaga anak-anak tidak merokok itu bukan dengan melarang rokok eceran. Tapi, tergantung pada pendidikan di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar,” terangnya.

Ali, yang juga Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), menambahkan kebijakan ini juga menyangkut keberlangsungan mata pencaharian para pedagang, khususnya penjual rokok eceran.

“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ratusan ribu pedagang asongan dan pedagang rokok itu bisa saja mengalami gulung tikar. Kalau hak mereka diambil negara, berarti negara telah melanggar pasal 27 UUS 1945 yaitu mengambil hak rakyat untuk mendapat kehidupan dan pekerjaan yang layak,” katanya.

Selain itu, Ali menjelaskan bahwa larangan penjualan rokok eceran dapat menyuburkan peredaran rokok ilegal dan akan menciptakan persoalan baru bagi pemerintah.

“Rokok ilegal akan menjadi pilihan masyarakat karena harganya yang murah. Harga murah tersebut disebabkan rokok ilegal tidak membayar cukai rokok kepada negara. Padahal, cukai rokok memiliki kontribusi besar bagi pendapatan negara.”

Terkait penyusunan RPP, Ali mengaku, sebagai salah satu pemangku kepentingan, pihaknya tidak pernah diajak berdiskusi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk membahas poin-poin di aturan tersebut.

Di kesempatan terpisah, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, melihat minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut.

Padahal, para pemangku kepentingan terkait regulasi ini sangat banyak dan melibatkan kepentingan publik yang luas. “Setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga bisa terpenuhi partisipasi publiknya,” sarannya.

Dalam membuat sebuah aturan, jika partisipasi publiknya belum cukup, Fitri menilai bahwa efektivitas pembuatan aturan tersebut akan kurang memadai. ***

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 15 Sep 2023

Bagikan

RELATED NEWS