Perusahaan Milik Susilo Wonowidjojo Dapat Dituntut Membayar Kredit Macet PT HSI Rp232 Miliar
JAKARTA - Perusahaan milik Susilo Wonowidjojo, yakni PT Hari Mahardika Usaha (HMU) dapat dituntut membayar kredit macet PT Hair Star Indonesia (HSI) senilai Rp 232 miliar kepada Bank OCBC NISP. Hal ini seiring kewajiban tanggung renteng antara pemegang saham, komisaris dan direksi perusahaan produsen rambut palsu asal Sidoarjo itu.
Kuasa Bank OCBC NISP Hasbi Setiawan mengatakan Susilo Wonowidjojo selaku tergugat 1 turut secara tanggung renteng bersama pemegang saham lainnya termasuk komisaris dan direksi PT HSI wajib membayar utang kredit kepada Bank OCBC NISP. Seluruhnya dapat dimintai pertanggung jawaban sampai dengan harta pribadinya.
“Tanggung jawab secara tanggung renteng ini sesuai dengan Pasal 3 ayat 2 (b) UU Perseroan Terbatas tahun 2007, bahkan mantan pemegang saham tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban sampai dengan harta pribadinya jika sewaktu yang bersangkutan masih sebagai pemegang saham, terbukti melanggar prinsip Piercing the Corporate Veil (PCV),” kata Hasbi saat persidangan kasus kredit macet di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (9/8/2023).
Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PN Sidoarjo, Moh. Fatkan SH, M.Hum, menghadirkan Guru besar hukum bisnis Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Nindyo Pramono,S.H.,M.S sebagai saksi ahli.
Dalam kesaksiannya, Prof. Nindyo mengatakan terkait PCV, ada dua dokrin terkait yakni pertama, adanya suatu perbuatan hukum membebankan tanggung jawab pada para pengurus korporasi, para direksi dan para pemegang saham yang seharusnya kebal dari tanggung jawab dimaksud, dan kedua yaitu adanya perbuatan melawan hukum. Jika dicermati maka terdapat hubungan sebab akibat yang memicu diterapkannya doktrin PCV.
“Para pengurus perseroan yang sebenarnya kebal dari tanggung jawab, menjadi tidak kebal dan malah memikul beban tanggung jawab, akibat dari suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. Maka faktor perbuatan melawan hukum ini dianggap menjadi faktor utama yang memicu diterapkannya doktrin PCV,” kata Prof Nindyo.
Menurutnya, tindakan pemegang saham melakukan penjualan saham yang dimilikinya pada perseroan ketika dia mengetahui atau memperkirakan perseroan tidak dapat membayar utang-utangnya, dapat diduga kuat bahwa pemegang saham tersebut memenuhi unsur pelanggaran Pasal 3 ayat 2 (b) UU PT, yaitu baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadinya. Indikasinya adalah bahwa pemegang saham yang bersangkutan patut diduga telah mengetahui atau dapat memperkirakan perseroan tidak dapat membayar/melunasi utang-utangnya.
Disisi lain, perseroan telah mengikat perjanjian kredit dengan sebuah bank dengan perjanjian bahwa selama kredit berlangsung tidak boleh ada perubahan susunan pemegang saham, karena pertimbangan bank memberikan kredit antara lain dan terutama karena para pemegang saham ini adalah orang kaya yang tentu baik langsung maupun tidak langsung adalah pengendali perseroan yang meminjam kredit tersebut. Begitu tahu perseroan mengalami kesulitan dalam mengembalikan atau melunasi kreditnya, kemudian para pemegang saham justru mengalihkan sahamnya dan membiarkan perseroan menghadapi PKPU dan jatuh pailit.
Adapun tuntutan terhadap pertanggung jawaban pemegang saham terkait perikatan yang dibuat atas nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPT menjadi ranah Peradilan Umum di Indonesia, karena persoalannya adalah Perbuatan Melawan Hukum. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan ‘Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.’
Kuasa hukum tergugat 1, 3, 6 dan 10, Gunadi Wibakso mengatakan penjelasan dari saksi ahli di persidangan kali ini harus ada pembuktian bahwa tergugat melakukan tindakan melwan hukum.
“Bagi kami yang dijelaskan saksi ahli tadi, harus ada terbukti pihaknya melakukan tindakan melawan hukum. Selain itu pemegang saham tersebut harus merupakan pemegang saham mayoritas, padahal bukan. Jadi semua kriteria itu tidak ada di Susilo Wonowidjojo,” kata Gunadi seusai persidangan.
PT Hair Star lndonesia (PT HSI) mengajukan pinjaman kepada Bank OCBC NISP sejak 2016 berupa kredit modal kerja untuk mendukung pengembangan bisnis rambut palsu atau wig yang pabriknya berada di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pada saat kredit tersebut diberikan pada Agustus 2016, Meylinda Setyo (Istri Susilo Wonowidjojo) berada dalam Susunan Pengurus PT HSI sebagai Presiden Komisaris. Pada tahun yang sama di bulan Desember, PT HMU milik Susilo Wonowidjojo menjadi pemegang saham pengendali PT HSI bersama PT Surya Multi Flora, dengan masing-masing sebanyak 50% saham. Adapun berdasarkan data AHU, Kementerian Hukum dan HAM, akta Nomor 016 tanggal 28 Juli 2016 dan diperbarui pada 21 Juli 2021, Susilo Wonowidjojo memiliki sebanyak 99,9% saham PT HMU senilai Rp 1,93 triliun.
Terkait kepemilikan saham, pada 17 Mei 2021, berdasarkan akta perusahaan Nomor 12, kepemilikan 50% saham PT HMU di PT HSI tiba-tiba beralih kepada Hadi Kristianto Niti Santoso. Sementara PT Surya Multi Flora tetap memiliki 50% saham. “Hilangnya saham PT HMU dari PT HSI itu kemudian diikuti dengan aksi PKPU yang akhirnya berujung pailit terhadap PT HSI di Pengadilan Niaga Surabaya pada tahun 2021. Kami menduga adanya indikasi perbuatan melawan hukum dari PT. HMU milik Susilo Wonowidjojo untuk menghindari kewajiban PT HSI kepada para bank,” ujar Hasbi.
Pihak-pihak yang digugat oleh Bank OCBC NISP yakni: Susilo Wonowidjojo (tergugat 1), PT. Hari Mahardika Usaha (PT.HMU) (tergugat 2), PT Surya Multi Flora (tergugat 3), Hadi Kristanto Niti Santoso (tergugat 4), Dra Linda Nitisantoso (tergugat 5), Lianawati Setyo (tergugat 6), Norman Sartono M.A (tergugat 7), Heroik Jakub (tergugat 8), Tjandra Hartono (tergugat 9), Daniel Widjaja (tergugat 10) dan Sundoro Niti Santoso (tergugat 11) serta PT. Hair Star Indonesia (PT. HSI) (turut tergugat 1), Ida Mustika S.H (turut tergugat 2).