HUT ke15, Poliwangi Gelar Expo dan Luncurkan Buku

Kamis, 22 Juni 2023 18:00 WIB

Penulis:Asih

Editor:Asih

Poliwangi.jpg
Peluncuran buku dan expo yang digelar Poliwangi.

BANYUWANGI  | halojatim.com - Menandai hari jadinya yang ke-15 tahun, Politeknik Negeri Banyuwangi (Poliwangi) meluncurkan buku berjudul  “15 Tahun Politeknik Negeri Banyuwangi, Berkarya untuk Negeri”, Kamis (22/6/2023). 

Buku setebal  247 halaman  fullcolour digarap oleh tim penulis praktisi dan mantan jurnalis Sukemi, Adriono dan Rusdi Zaki. 

Buku itu berisi tentang jejak langkah Poliwangi dari mulai  dirintis, berdiri sebagai perguruan tinggi swasta, sampai menjadi politeknik negeri yang maju hingga saat ini. 

BACA JUGA


Buku berkisah tentang sebuah kampus yang berlokasi di kawasan Labanasem, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, yang dulu sempat dibully sebagai kampus PPP atau paran-paran padang alias tidak ada apa-apanya. 

Tetapi kini menjadi politeknik besar di Bumi Blambangan yang memiliki sarana praktik hotel sebanyak 53 kamar dan tengah menambah gedung baru setinggi tujuh lantai. 

Peluncuran buku dikemas dalam bentuk talkshow yang santai tapi serius. Hadir narasumber orang-orang yang berperan besar dalam melahirkan Poliwangi, yaitu Dr. Ratna Ani Lestari, Bupati Banyuwangi periode 2005-2010, Drs. H. Sabari selaku Ketua Yayasan Pendidikaan Tinggi Banyuwangi (YPTB), dan Sugihartoyo selaku anggota tim teknis pendirian Poliwangi. 

Ratna mengatakan, dulu ide mendirikan Poliwangi adalah untuk menolong dan mengembangkan SDM di daerahnya, terutama para petani dan nelayan. Juga ingin mengembangkan dunia pariwisata, karena berdekatan dengan Pulau Bali. Bukan untuk tujuan komersial sama sekali. 

Dirinya mengaku bersyukur jika akhirnya  Poliwangi yang inisiasi awal oleh Pemkab Banyuwangi dan didukung DPRD tersebut dapat berkembang pesat. “Waktu itu ada 60 kabupaten di Indonesia yang berminat mendirikan politeknik, tetapi jatah untuk batch 2 hanya ada enam titik. Setelah diseleksi yang dapat hanya lima titik, salah satunya ya Poliwangi ini,” katanya. 

Sementara itu Sugihartoyo, menjelaskan urgensi membuat buku sejarah bagi sebuah institusi. 

“Sejarah adalah spirit. Jika sejarah itu tertulis, maka nilai-nilai dan spirit yang menjiwai para perintis dan pendiri saat mendirikan Poliwangi dapat dikenali lalu dapat diwariskan kepada generasi penerusnya,” katanya. 

Sugihartoyo menceritakan betapa kehadiran Poliwangi saat itu membutuhkan keberanian dari pimpinan daerah yang  dituntut untuk berkontribusi dalam penyertaan pembiayaan dengan komposisi 70 persen pusat dan 30 persen daerah. “Tentu butuh keberanian dan lobi-lobi tingkat tinggi agar APBD dapat memenuhi persyaratan yang ditretapkan pusat,” katanya. 

Waktu itu, katanya menambahkan, pimpinan daerah hanya berpikir bagaimana warga Banyuwangi bisa memperoleh Pendidikan tinggi yang memadai di daerah sendiri agar devisa masyarakat tidak ke luar dari Banyuwangi